Senja di beranda rumah kita, seperti teh tawar yang sudah dingin. Napas tersengal-sengal, mungkin ini waktunya pamit, pulang ke asrama akhirat. Nak, Bun, pegang tanganku, sebentar saja, sebelum Ayah jadi kenangan. Takdir sudah mengetuk pintu, mengundang ke pesta di alam barzah.
Air mata tumpah, seperti vas bunga yang pecah di lantai hati. Tangis kalian sayup-sayup, gema kesedihan di ujung lembah kenangan. Maafkan Ayah, harus pergi tanpa pesan tiket pulang, meninggalkan dunia. Melanjutkan perjalanan ke terminal keabadian, mencari kekal di taman Tuhan.
Jangan sedih, jangan cengeng, hidup harus terus berjalan, seperti kaset pita yang terus berputar. Ayah hanyalah burung hantu yang terbang ke alam kelam, mencari cahaya di balik bintang. Tapi Ayah akan selalu mengawasi kalian, seperti satpam kompleks yang siaga. Doa Ayah menjadi payung gaib, melindungi kalian dari hujan dan panas dunia.
Jaga diri baik-baik, ya, Bun, jaga anak-anak kita, pelita hati Ayah. Kalian adalah puisi terindah, rumah ternyaman, lagu favorit yang tak pernah bosan. Kenangan tentang Ayah, simpanlah rapi-rapi di lemari ingatan kalian. Ayah akan selalu ada di hatimu, seperti tulisan di batu nisan, abadi dan tak terhapuskan.
Hidup itu seperti rollercoaster, penuh kejutan dan tantangan, penuh liku dan cerita. Nikmati setiap putarannya, jangan lupa berteriak dan ketawa, hadapi dengan hati yang tegar. Kelak, kita akan bertemu lagi di taman surga yang indah, di keabadian yang penuh cinta. Kita main petak umpet bersama malaikat, sampai lelah dan tertawa bersama, selamanya.
15 Oktober 2024
dengan bantuan Google Gemini